免費論壇 繁體 | 簡體
Sclub交友聊天~加入聊天室當版主
分享
返回列表 發帖

【转贴】Suka Duka di Hong Kong (1978~2003)

本帖最後由 rainbow 於 2014-5-8 01:31 編輯
Suka Duka di Hong Kong
(1978~2003)
Oleh Thio Keng Bouw

(1) Meninggalkan Tiongkok ke Hong Kong

(2) Juru Masak Restoran Indonesia

(3) Cuma 8 hari di Restoran Jakarta

(4) Bekerja di Super Market Xin Du Cheng (Metropolitan - North Point)

(5) Jadi tukang cuci piring di restoran Shanghai

(6) Ambil bagian dalam lomba seni suara Serikat Buruh Hong Kong


(1) Meninggalkan Tiongkok ke Hong Kong


 Tanggal 3 Januari 1978 pagi, saya meninggalkan setasiun K.A. Guang Zhou menuju Sen Zhen, dengan tujuan terakhir kota Hong Kong, yang ketika itu ma- sih dibawah pemerintahan koloni Inggeris.

 Kira2 3 jam kemudian, tibalah di kota Sen Zhen, lebih tepat kecamatan Sen Zhen, sebab ketika itu Sen Zhen masih merupakan wajah kecamatan ketimbang kota metropolitan dewasa ini. Setasiun K.A.nya masih bersahaja dan kecil sekali.

 Turun dari K.A. saya harus menjinjing sendiri koper pakaian yg beratnya 20 Kg. dan sebuah akordeon merek Parrot yg beratnya sekitar 10 Kg. Akordeon yg baru saja saya beli di toko alat musik Guang Zhou dengan harga 450 RMB (Ren Min Bi). Uang yg saya hemat dari ber-tahun2 tabungan uang saku 30 RMB per bulan.

 Saya sudah merencanakan, jika tak berhasil mencari nafkah di Hongkong, saya akan ngamen main akordeon di jalan raya yg ramai, seperti yg saya saksikan dalam film2 tempo doeloe di Indonesia. Pokoknya punya kepandaian main akordeon dan menyanyi, pasti tidak akan kelaparan deh.

 Dalam dompet saya, cuma ada 10 Hong Kong Dollar, cuma sebegitu yg boleh ditukarkan dgn resmi di Bank of China, karena RRT masih miskin, tidak punya persediaan valuta asing yg cukup untuk rakyatnya yg mau keluar negeri. Saya masih punya l.k. 300 RMB uang tunai, semuanya tidak boleh dibawa keluar, harus dibelanjakan di Guangzhou, jadi saya habiskan uang itu untuk membeli pakaian baru, koper, dan sepatu kulit. agar jangan ke Hong Kong, memakai pakaian tua distribusi yg warna biru2 yg tampak seperti kader pemerintah tingkat menengah pada umumnya ketika itu. Koper tua yg saya bawa dari Indonesia, pakaian luar distribusi warna biru2, sepatu kapas semuanya saya tinggalkan di Guang Zhou, karena rasanya sudah tak cocok dgn penghidupan baru di Hong Kong.

 Di perbatasan Sen Zhen, saya diperiksa oleh pejabat duane Tiongkok, diperiksa surat2 izin keluar Tiongkoknya, diperiksa dgn teliti semua isi koper yg saya bawa. Prosedur pemeriksaan makan waktu agak lama, hampir 5 jam lamanya, barulah saya diizinkan meninggalkan Sen Zhen menuju Hong Kong via Lowu.

 Sen Zhen dan Lo Wu (kota perbatasan yg dikuasai oleh Inggeris) cuma terpisah dengan sebuah jembatan saja, saya berjalan kaki dengan menjinjing bawaan yg terasa sangat berat, karena perut keroncongan belum makan siang.

 Di kantor imigrasi Hong Kong-Inggeris. saya diperiksa lagi surat2 keterangannya, diajukan pertanyaan macam2, kenapa meninggalkan Tiongkok, di Tiongkok kerja apa, tinggal di mana, masih ada keluarga atau tidak, kapan ke Tiongkok. Mengapa ke Tiongkok dlsb. Semuanya bisa saya jawab dgn lancar, karena memang teman saya di Guang Zhou pernah menceritakan kemungkinan seperti ini.

 Kemudian saya membeli tiket KA Lowu-Hunghom, dimana abang misan saya sudah menunggu sejak siang hari disana. Uang yg 10 Hong Kong Dollar itu rupanya sudah diperhitungkan oleh Bank Of China, persis cukup untuk membeli tiket KA dan membeli satu kaleng Coca Cola dan satu pak Saridele untuk melawan rasa haus.

 Inilah Coca Cola/Saridele yg pertama kalinya saya minum setelah meninggalkan Indonesia. Karena di Tiongkok ketika itu tak pernah kelihatan apa yg namanya Coca Cola dan saridele Pertama sudah kehausan, kedua memang minuman jaman kanak2 yg saya sukai, wah rasanya luar biasa nikmat dan segarnya, apalagi baru keluar dari rendaman ember plastik yg penuh dengan pecahan es batu.

 Kereta api berjalan dengan lambat sekali, dalam gerbong tua k.a. berseliweran pedagang asongan yg menjual paha ayam rebus, coca cola, sari dele dll.

 Kira pukul 6 sore saya tiba di setasiun KA Hung Hom, di mana sudah menunggu 2 abang saya yg sudah setengah harian menunggu di sana. Langsung saya dibawa ke restoran setasiun KA Hung Hom, makan nasi goreng dgn lahapnya. Kemudian pergi ke rumah abang saya di Hong Kong Island. Malam itu saya dan keluarganya tidur sampai larut sekali, karena banyak sekali cerita selama kita ber pisah pada tahun 1966 itu.

 2 abang saya sudah pada tahun 1972 dan 1975 pindah ke Hong Kong, dua2 sudah punya pekerjaan tetap di Hong Kong, penghidupannya lumayan, lebih baik ketimbang dulu di Shang Hai dan Bei Jing. Yang besar bekerja di China Travel Service, yang kecil bekerja di perusahan instant noodle. Mereka katakan, kau tak usah sampai ngamen main akordeon sambil nyanyi di pinggir jalan, di Hong Kong sekarang gampang cari pekerjaan, asal jangan pilih2 dulu. Di sini banyak sekali bekas teman sekolah kita, yg dulu ber-bondong2 meneruskan studinya ke RRT, kemudian merasa tak betah dengan iklim politik ekstrim kiri pada 1966-1976, satu persatu meninggalkan daratan Tiongkok, pindah ke Hong Kong. Kau tidak akan kesepian di sini......

 Tgl 6 Januari 1978, tiba2 adik kandungku Sonny muncul di rumah ko Yung Hoa, yang kutempati untuk sementara. Sudah 12 tahun 3 bulan kami berpisah, ia kebetulan mampir di Hongkong, tidak di-sangka2 bisa jumpa dengan saya di Hongkong. Ia banyak cerita tentang keadaan ayahbunda dan adik2ku di Indonesia. Kemudian saya, ko Yunghua, enso Neng Ay ramai2 pergi ke Hotel Merlin di Tsim Sha Tsui dimana ia menginap.

(03 / 01 / 2004)

Suka Duka di Hong Kong
(1978~2003)
Oleh Thio Keng Bouw

(2) Juru Masak Restoran Indonesia


 Apa yang diceritakan oleh kedua abangku itu ternyata benar. Selama beberapa hari membaca iklan di suratkabar Hong Kong, ternyata banyak sekali lowongan pekerjaan apa saja, siap menunggu lamaranku untuk be- kerja, jadi tidak usah sampai jadi pengemis di pinggir jalan sambil main akordeon dan menyanyi.

 Bahasa se-hari2 yang digunakan oleh penduduk Hong Kong adalah bahasa Kantonese, bukannya bahasa Mandarin atau bahasa nasional Tiongkok. Jadi saya menghadapi kesulitan besar untuk bekerja, sebab sedikitpun tidak menyangka hal seperti ini, jadi tidak pernah ada persiapan samasekali untuk belajar bahasa Kantonese ketika masih di Guang Zhou. Maka saya putuskan untuk belajar bahasa Kantonese melalui layar TV, mencari pekerjaan yg tidak usah berdialog dgn bahasa Kantonese, tapi ada kesempatan belajar bahasa ini melalui komunikasi dgn teman2 sepekerjaan yg sudah lama bermukim di Hong Kong.

 Akhirnya ketemu juga iklan yang mencari koki masakan Indonesia. Saya segera pergi melamar dengan berpakaian rapih, pakai stelan jas dan berdasi. Restoran tersebut terletak di Central Hong Kong, di mana terletak pusat perkantoran perusahaan besar di Hong Kong. Letaknya 45 menit perjalanan dengan tram listrik dari rumah kediamanku sementara di North Point. Tram Listrik adalah alat angkutan yg paling murah di Hong Kong.

 Saya diterima oleh majikan perempuan Restoran Jakarta di ruang makan. Inilah dialog yg tak pernah kulupakan seumur hidup:

 MP (majikan perempuan): Maaf ya, yang kami butuhkan adalah jurumasak, bukannya pelayan restoran.

 Saya: Rupanya anda salahpaham melihat saya berpakaian seperti pegawai kantoran, saya betul2 mau melamar pekerjaan sebagai jurumasak.

 MP: Okay,... tapi,.... apakah kamu berpengalaman jadi juru masak? Dimana kamu bekerja jadi jurumasak restoran Indonesia?

 Saya: Sejak kecil saya jadi pembantu utama ibu saya yg buka restoran di Jakarta.

 MP: Baiklah, coba buktikan kamu betul2 mampu masak. mari ikut saya ke dapur, bikin 4 macam masakan Indonesia sbb: Rendang Padang, Soto Madura, Kari Sapi dan Sate Ayam.

 Sebetulnya saya berdusta kepada majikan perempuan tsb, seumur hidup saya tak pernah bekerja di restoran apapun. Saya cuma sering membantu ibu saya masak makanan se-hari2 di rumah. Kemudian selama 12 tahun di Tiongkok, sering belajar masak kepada teman2 yg betul2 ahli masak masakan Indonesia, dan sering terjun ke dapur untuk bekerja jadi koki pembantu.

 Guru saya adalah ibu saya sendiri, ayah yg juga pandai masak, nenek saya, zus Mariam yg kini bermukim di Holland, bung Sofyadi yg pernah mengajarkan saya membikin Rendang Padang, ketika sama2 dirawat di Sanatorium Lu Shan pada 1973, ketika itu tak ada daging sapi, saya pakai daging babi sebagai gantinya. Menurut bung Urip yg kebetulan sama2 di rawat di Sanatorium, rendang babi yg saya masak itu betul2 lezad. Namun jika saya tidak berdusta. niscaya segera ditolak lamaran saya ini.

 Saya dipersilahkan masuk ke dapur restoran, dimana sudah ada koki, pembantu koki, tukang cuci piring yang kesemuanya berasal dari Indonesia. Saya segera buka dasi, gantung jas saya, mulailah bekerja menurut permintaan sang majikan tsb.  Dalam tempo l.k. 3 jam selesailah semua masakan tsb.  Sang majikan mencicipi satu persatu, kemudian berkata: "Wah, tidak menyangka kamu pandai masak, cuma masih ada jarak dgn seleraku, jintennya kurang terasa." Setelah saya tanya kepada koki utama A Wong yg berasal dari Medan, dia beritahu bahwa majikan kita ini kelahiran Singapura, jadi seleranya agak beda dgn orang yg kelahiran dari Jawa.

 Saya segera diterima menjadi pembantu A Wong, dengan upah bulanan 900 HK$, kerja 6 hari per Minggu, tiap hari 12 jam kerja, dapat makan gratis 3 kali per hari.

 Begitu diterima bekerja saya segera mencari tempat pondokan, kebetulan salah seorang pelayan Restoran Jakarta yg bernama Tan Wie Hiong ada kamar kosong untuk disewakan, sewanya cuma 200 HK$ per bulan. Letaknya tak berjauhan dgn flat apartment abangku. Enak juga, setiap hari kami berdua sama2 berangkat naik Tram Listerik, kemudian pulang kerja ber-sama2 pula.


(11 / 01 / 2004)

TOP

Suka Duka di Hong Kong
(1978~2003)
Oleh Thio Keng Bouw

(3) Cuma 8 hari di Restoran Jakarta


 Di Restoran Jakarta, saya bekerja dengan antusias sekali, pertama, masak memasak adalah salah satu hobby  saya selama 12 tahun terpaksa  kecantol di Tiongkok, kedua, melalui bekerja, saya merencanakan untuk menabung uang guna membeli piano sebagai hobby utama saya sejak 1958 kuliah di fakultas hukum Unpar Bandung.

 Miss Chen, demikianlah kita menyebut nama majikan perempuan Restoran Jakarta, lahir di Singapura, besar di Jakarta, bersekolah di Sekolah Sin Hoa Pasar Baru. Jadi masih se-alumni dgn saya, tapi dulu kami tidak saling kenal. Saya diatur pekerjaannya sebagai pembantu utama A Wong, kapten dapur.

 Tiap pagi jam 9 saya sudah tiba di dapur, segera membantu mencuci sayur mayur, mengupas kulit udang basah, mengiris bawang merah / putih, mengupas  kentang, wortel, lobak putih, bangkoang, memotong kacang panjang, terong, kol putih, caysim, daging sapi, daging ayam, langkwas, serai, jahe, daun bawang, selederi, cabe merah, cabe rawit, kangkung, tauge, labu Siam, dlsb... kemudian menggoreng  kacang tanah dan menggilingnya sampai halus...semuanya saya kerjakan bersama A Hoy dan A Lim dua pembantu saya yg sudah bekerja beberapa bulan sebelumnya.

 Yang mengolah masakannya adalah A Wong bersama Miss Chen, semuanya harus siap pada pukul 12 siang, untuk para tamu yg kebanyakan pegawai kantoran yang makan siang antara jam 12 s/d 14 di berbagai restoran di Central, termasuk Restoran Jakarta.

 Antara jam 12 s/d 14, adalah jam2 tersibuk dan penuh ketegangan dalam dapur, karena Miss Chen menuntut keras, kerja harus cepat dan tepat. Menyendok nasi atau sayur tidak boleh kebanyakan atau kedikitan dan harus serba cepat, agar para tamu jangan menunggu terlalu lama.

 Setelah jam 14, tamu2 sepi kembali, karena umumnya sudah masuk kantor bekerja kembali, barulah pegawai restoran bergantian makan siang. Saya dan A Wong yg bertugas gantian untuk makanan para pegawai, semuanya Chinese Food, yg pernah saya pelajari di Tiongkok pada 66-77 itu.  Setelah istirahat sebentar, kembali sibuk menyiapkan bahan2 untuk A Wong dan Miss Chen memasak makanan tahan lama, seperti rendang Padang, kari sapi dan ayam, semur sapi, ayam goreng, sambel goreng ati, goreng kerupuk, emping, bawang merah, bikin sambel terasi, sambel lumpiah, sambel soto dlsb pekerjaan tetek bengek dapur Indonesia.

 Makan malam juga di dapur, kebanyakan saya yg menyiapkan, karena A Wong tugas utamanya adalah masak untuk para tamu.

 Sore hari dan malam, jarang ada tamu yg datang makan. Karena daerah Central adalah daerah perkantoran, setelah jam 6 sudah sepi sekali. Jam 8 malam, kami sudah ramai2 membersihkan dapur, toilet... Jam 9 malam selesailah pekerjaan seharian, masing2 pulang ke rumah untuk istirahat.  Saya pulang bersama Wie Hiong yg bekerja sebagai pelayan restoran, dimana saya menyewa kamarnya untuk tidur.  Jam 10 malam sudah tiba di rumah, baca suratkabar sebentar, badan terasa letih, buru2 naik ranjang untuk tidur.

 Setelah bekerja 8 hari ber-turut2, saya minta berhenti kepada Miss Chen, kenapa?

 Pertama, saya merasakan pekerjaan ini terlalu meletihkan badan,  pulang ke rumah sudah tidak bersemangat untuk belajar apa2 lagi, kemudian saya tidak bisa belajar bahasa Kantonese, karena yg bekerja di dapur 100% berasal dari Indonesia yg tidak menggunakan bahasa Kantonese samasekali.

 Kedua, terjadi peristiwa yg menusuk perasaan saya. Kejadiannya begini: Pada hari ketujuh, saya diminta oleh A Wong untuk menggoreng bakmi. Saya kerjakan dengan baik, dan dapat pujian dari A Wong, kwalitet restoran ujarnya.  Malam itu kebetulan ada yg memesan bakmi goreng, ketika saya sedang enak2 menggoreng, tiba2 Miss Chen muncul dan menghardik saya: "Kok kau yg menggoreng bakmi? Apakah mau membikin rusak nama Restoran Jakarta?"   A Wong segera menjawab, bahwa dialah yg menyuruh saya. Tapi Miss Chen masih uring2an, ngomel panjang pendek.

 Setelah pikir dalam2, keesokkan paginya saya ajukan permintaan berhenti kepada Miss Chen. Miss Chen minta maaf atas peristiwa semalam, minta agar saya jangan berhenti. Tapi saya tetap minta berhenti dgn alasan pekerjaan ini terlalu menyita waktu saya, tidak ada kesempatan untuk belajar bahasa Kantonese, karena seluruh pegawainya berbahasa Indonesia di dapur. Sayapun tak mau seumur hidup bekerja di restoran, tanpa mnguasai bahasa Kantonese, sulit untuk mencari pekerjaan lain yg lebih baik.

 Setelah menerima upah 240 HK$, malam itu juga saya resmi berhenti dari Restoran Jakarta. Malam harinya membaca iklan di surat kabar, mencari pekerjaan yg lebih ideal, dan berdekatan dgn rumah kediaman, jadi tak usah buang2 waktu seperti sekarang ini.

 8 bulan kemudian, saya jumpa lagi dgn Miss Chen di Central, dia mengajak saya untuk bekerja kembali di Restoran Jakarta. Saya katakan, sorry ya, kini saya sudah mendapat pekerjaan sebagai guide di travel biro dan mengajar piano, pekerjaan ini tidak cape dan waktunya pendek. Miss Chen menjadi ter-heran2, kenapa sang koki ini tiba2 jadi tourist guide dan guru piano.... Pada waktu2 senggang, saya suka mampir ke Restoran Jakarta, ngobrol dgn para pekerja dapur di situ, juga dengan Miss Chen dan suaminya.


(15 / 01 / 2004)

TOP

Suka Duka di Hong Kong
(1978~2003)
Oleh Thio Keng Bouw

(4) Bekerja di Super Market Xin Du Cheng
(Metropolitan - North Point)


 Tahun 1978, sangat mudah untuk mencari pekerjaan apa saja di Hong Kong. Setelah berhenti dari Restoran Jakarta, saya melamar pekerjaan di Super Market Xin Du Cheng yg letaknya dekat rumah kediaman saya. Gajihnya cuma 600 HK$ per bulan (cuma dua per tiga gajih di Res. Jakarta), tapi pekerjaannya jauh lebih ringan dan bersih, cuma mengambil barang2 dari gudang, menempeli label harga, meletakkan di rak, kemudian berdiri dan ber-jalan2, memperhatikan kalau2 ada yg mau mencuri di toko.  Dapat makan 3 kali juga, kerja 6 hari per Minggu, dari jam 10 pagi sampai jam 10 malam. Makanannya cukup lezad,  ada sayur, ada daging, ada sup panas.

 Di sini saya mendapat kesempatan belajar bahasa Kantonese, karena pegawainya banyak orang Hong Kong yg tidak bisa bahasa Mandarin samasekali. Terpaksa saya harus  bercakap Kantonese dgn mereka.

 Pada suatu pagi, tiba2 datang menghampiri seorang pemuda  dan menyapa saya: "Ko Keng Bouw ! Masih kenali saya enggak?"

 Sama sekali saya sudah lupa siapa gerangan pemuda ini. Akhirnya dia memperkenalkan diri :" Saya kan Kang Liang, adiknya Yen Lie,  sudah lupa ya ?"

 "Wah, sudah 14 tahun tak jumpa, bagaimana bisa ingat lagi, apalagi ketika itu kau baru berusia 12 tahun rasanya."

 "Saya sudah 5 tahun di Hong Kong, sudah menikah dan bekerja di perusahaan mertua saya di Hong Kong.  O, ya, si Chun Lin (Eveline Tjiauw) juga ada di sini, nih nomer tilponnya."

 Yen Lie adalah salah satu sahabat karibku di Bandung, penyanyi soprano yg sering mengisi acara Malam kesenian PPI pada 1959-1964. Suaminya John Kim adalah penyanyi tenor, juga selalu mengisi acara kesenian di Bandung maupun di berbagai kota di Jakarta, Jateng, Jatim, Jabar dan Sumsel. Eveline Tjiauw adalah saudari seperguruan Yen Lie, sama2 belajar kepada Mevrouw Tobing ketika mudanya. Ternyata rumah kediaman Eveline Tjiauw cuma 5 menit jalan kaki dari rumah saya. Ia, suaminya Yap,  dan  anaknya Xiao Hu sudah 3 tahun tinggal di Hong Kong, kini menjadi guru seni suara di flat aparmentnya di Quarry Bay.

 Menggunakan waktu liburan, saya bertamu ke rumahnya, bernostalgia dengan Eveline dan Yap, yg sudah 13 tahun berpisah.   Yap membuka toko kiosk kecil di Causeway Bay , hidupnya lumayan juga. Saya menceritakan selama kecantol di Tiongkok 1965-1977, saya antara lain bekerja sebagai guru piano, guru akordeon, guru paduan suara dan mengajar menyanyi serta menggubah lagu2 (composer).

 Eveline Tjiauw, juara Bintang Radio jenis seriosa Indonesia 1962,  juga anggota bagian kesenian PPI Bandung, kemudian memperdalam tehnik seni suaranya di Konservatorium Bei Jing.

 Eveline bertanya kepada saya: "Bouw, kenapa kau tidak mengajar piano saja di sini?Kau kan sudah pengalaman belasan tahun jadi guru piano."

 "Sulit berkomunikasi dgn orang Hong Kong, karena mereka tidak bisa bahasa Mandarin, saya juga belum lancar berbahasa Kantonese." Jawab saya.

 "Tak apalah, nanti  saya bantu carikan murid,  selanjutnya kau pasang iklan di suratkabar, setiap hari belajar bahasa Kantonese, saya dulu juga begitu, ketika mula2 datang di Hong Kong".

 Akhirnya saya memberanikan diri untuk menempuh penghidupan baru menjadi guru piano di Hong Kong. Tapi pekerjaan utama di Super Market tidak saya lepaskan dulu, karena murid saya masih sangat sedikit sekali, tidak cukup untuk ongkos hidup se-hari2.

TOP

Suka Duka di Hong Kong
(1978~2003)
Oleh Thio Keng Bouw

(5) Jadi tukang cuci piring di restoran Shanghai


 Setelah bekerja l.k. sebulan di Super Market, melalui abang saya, akhirnya saya ketemu banyak sekali bekas teman sekolah ketika di SMA di Jakarta. Salah satu diantaranya Liu Mey Hoa adalah pemilik Restoran Shanghai di North Point, yg juga letaknya tak berjauhan dari kediaman saya. Kebetulan ia sedang membutuhkan tukang cuci piring di restorannya, gajihnya HK$ 850 per bulan, juga dapat makan 3 kali sehari.  Saya segera pindah kerja di restorannya. Kerjanya lebih ringan dan waktu kerja lebih pendek (9 jam sehari) serta gajihnya lebih besar ketimbang di Super Market.

 Antara jam 2 siang sampai jam 5 sore, praktis tak ada kerjaan apa2 di restorannya, saya diizinkan untuk menyewa piano untuk berlatih, agar jari jemari saya tidak menjadi kaku, karena memang saya sudah bertekad untuk meneruskan karier saya sebagai guru piano di Hong Kong. Pekerjaan yg lebih ringan, penghasilan yg lebih besar, sesuai dengan bakat serta pengalaman kerja saya.

 Adik saya di Indonesia mengirimkan uang 2000 HK$ untuk uang deposit membeli piano, sisanya 4000 HK$ saya angsur dalam tempo 18 bulan. Piano merek Baldwyn (USA) adalah piano yg terbaik kwalitetnya yg pernah saya pakai sebelumnya.  Memiliki piano sendiri adalah idam2an saya sejak kecil, baru terwujud impian ini pada tahun 1978 di Hong Kong.


(20 / 01 / 2004)

TOP

本帖最後由 rainbow 於 2014-5-10 01:08 編輯
Suka Duka di Hong Kong
(1978~2003)
Oleh Thio Keng Bouw

(6) Ambil bagian dalam lomba
seni suara Serikat Buruh Hong Kong


 Sahabat lama saya Eveline Tjiauw menganjurkan agar saya ambil bagian dalam Lomba  Seni  Suara Serikat Buruh Hong Kong, dimana salah seorang muridnya Zhong Yi Xin ( penyanyi tenor ) ikut berlomba, dan membutuhkan seorang pianis  pengiring. Dengan demikian berarti kesempatan untuk memperkenalkan diri secara terbuka diri kita sebagai pianis, dan memudahkan usaha mencari muridpiano.  Nasihat baik ini saya terima, saya berkenalan dgn Zhong, seorang yg pernah aktif dalam Rombongan Kesenian di Hai Nan sebagai penyanyi tunggal (Tenor Solo). 

   Zhong bekerja se-hari2sebagai buruh angkutan, yg tugasnya mengantar Coca-Cola dari pabrik ke toko2 langgannnya.  Lepas kerja ia datang ke rumah saya untuk berlatih bersama. 2 lagu pilihannya kebetulan sering saya mainkan ketika bermukim di Tiongkok dalam berbagai pentas kesenian. Yaitu lagu Italia O Sole Mio dan lagu Korea Ye Fei San. Jadi tidak usah terlalu buang tempo untuk menyiapkan partitur iringannya yg serba baru. Ini merupakan langgam musik saya yg selalu tidak puas dengan partitur musik yg ada yg ditulis oleh orang lain. Yang kadang2 terlalu sulit untuk dimainkan, atau terlalu mudah tapi tulisannya jelek dan chordnya terlalu sederhana, kurang bermutu.

   Zhong memiliki suara tenor yg bagus, saya merasa beruntung juga bisa mengiringinya, menambah semangat saya untuk ambil bagian dalam perlombaan ini.  Yang ambil bagian dalam perlombaan ini semuanya terdiri dari kaum buruh yg bekerja dalam berbagai lapangan di Hong Kong, kebanyakan berguru kepada guru seni suara tamatan berbagai konservatorium di RRT.  Dan yg menjadi juri, disamping guru2 seni suara tsb, juga terdapat bintang film, bintang TV di Hong Kong. Secara tak terduga. saya bertemu dengan salah seorang juri yg ternyata satu angkatan dgn saya ketika studi di SMA Ba Zhong Jakarta, dan pernah merebut juara ketika perlombaan nyanyi di sekolah SMA. Namanya Zhang Ru Jin.  Ia lulus di Konservatorium Peking jurusan seni suara, kini bekerja sebagai guru seni suara di Hong Kong.

   Perlombaan berlangsung di Gedung Kesenian Xin Guang, North Point. Kami berdua mengenakan jas serba hitam dan berdasi kupu2 warna hitam pula. Karena sama2 berpengalaman tampil di  berbagai panggung kesenian, maka sedikitpun kami tidak merasa dag dig dug hatinya atau gemetar. Apalagi sudah melalui  latihan persiapan yg cukup, dibawah pengawasan Eveline Tjiauw, juara pertama Lomba Bintang Radio Se-Indonesia jenis seriosa pada 1962 dan Gouw Tjeng San, pianis pengiring berpengalaman sejak tahun2 50-an di PPI (Permusyawaratan Pemuda Indonesia) Cabang Jakarta.

   Perlombaan berlangsung dgn seru, karena semua peserta juga mempunyai guru2 kenamaan dan memiliki bakat seni yg lumayan. Ketika pengumuman dari para juri, hati mulai ketar ketir, karena sampai diumumkan nama2 juara kedua. belum terdengar nama Zhong Yi Xin. Apakah kami masuk kotak, atau barangkali mujur berhasil merebut juara pertama. 

   "Juara pertama Lomba Seni Suara Serikat Buruh Hongkong 1978 adalah.....Zhong Yi Xin dengan iringan piano Zhang Qing Mao (nama saya dalam ejaan Bei Jing)...." Demikian pengumuan dari juri yg segera disambut dgn tepuk tangan yg ramai dari para penonton.  Kami berdua tampil ke pentas, Zhong menerima piala juaranya, serta amplop berisi chek HKD 1000,-.

   Setelah itu ramai para peserta perlombaan memberikan salam selamat kepada kami berdua, beberapa juri mengatakan, disamping suara dan pembawaan Zhong yg bagus, juga iringan piano yg spesifik dari saya ikut memberikan pengaruh besar,  karena saya sama sekali tidak menurut iringan yg tertulis dalam buku2 musik yg ada, melainkan menciptakan sendiri iringan yg  serba baru dan cocok dgn isi lagu dan sedap di telinga, mereka memuji bakat terpendam saya dalam kreativitas iringan piano.

   Selesai pertandingan, saya, Zhong, dan beberapa suporters murid Eveline Tjiauw ber-sama2 pergi Yam Cha (minum teh dan makan snack a la Hong Kong) di restoran Xin Du Cheng yg terletak di seberang Gedung Xin Guang tsb. Disini  saya berkenalan dgn Victoria, juga salah seorang murid Eveline Tjiauw, yg pada 1979 sampai cerita ini ditulis adalah isteri saya.  

   Semua merasa gembira hatinya. terutama saya dan Eveline Tjiauw.  Kami berdua sudah saling kenal semenjak di PPI Cabang Bandung pada tahun 50-60an, saya sering menjabat ketua rombongan kesenian dan Eveline adalah salah seorang penyanyi soprano andalan PPI Bandung ketika itu. Hati saya semakin mantep untuk menjadi guru piano di Hong Kong. Tidak sia sia latihan2 piano yg serius selama 12 tahun di RRT. Dimana saya selalu menjadi pianis utama dalam berbagai pertunjukan kesenian yg diselenggarakan oleh para pemuda pemudi Indonesia yg ketika itu terpaksa menjadi pelarian politik gara2 peristiwa G 30S.  

   Hari ini sangat bersejarah buat saya, perkenalan saya dgn Victoria, yg sama2 memiliki hobby kesenian, telah membawa saya ke mahligai rumahtangga yg bahagia selama di Hong Kong, lengkaplah cita2 saya hijrah ke Hong Kong untuk menjadi manusia normal, melepaskan diri dari kehidupan membujang selama 20 tahunan.

   Vicoria lebih muda 13 tahun dari saya, setelah ngbrol punya ngobrol, ternyata ia dulunya juga tinggal di Tamansari Jakarta, juga sama2 bersekolah di SMA Ba Zhong Jakarta, yang pada 1966 ditutup oleh pemerintah Indonesia, terpaksa ia meninggalkan Indonesia untuk meneruskan studinya di RRT. Mengenai hal Victoria ini, akan saya ceritakan dalam seri yad.


(16 / 02 / 2004)





please click:


TOP

返回列表