(3) Cuma 8 hari di Restoran Jakarta
Di Restoran Jakarta, saya bekerja dengan antusias sekali, pertama, masak memasak adalah salah satu hobby saya selama 12 tahun terpaksa kecantol di Tiongkok, kedua, melalui bekerja, saya merencanakan untuk menabung uang guna membeli piano sebagai hobby utama saya sejak 1958 kuliah di fakultas hukum Unpar Bandung.
Miss Chen, demikianlah kita menyebut nama majikan perempuan Restoran Jakarta, lahir di Singapura, besar di Jakarta, bersekolah di Sekolah Sin Hoa Pasar Baru. Jadi masih se-alumni dgn saya, tapi dulu kami tidak saling kenal. Saya diatur pekerjaannya sebagai pembantu utama A Wong, kapten dapur.
Tiap pagi jam 9 saya sudah tiba di dapur, segera membantu mencuci sayur mayur, mengupas kulit udang basah, mengiris bawang merah / putih, mengupas kentang, wortel, lobak putih, bangkoang, memotong kacang panjang, terong, kol putih, caysim, daging sapi, daging ayam, langkwas, serai, jahe, daun bawang, selederi, cabe merah, cabe rawit, kangkung, tauge, labu Siam, dlsb... kemudian menggoreng kacang tanah dan menggilingnya sampai halus...semuanya saya kerjakan bersama A Hoy dan A Lim dua pembantu saya yg sudah bekerja beberapa bulan sebelumnya.
Yang mengolah masakannya adalah A Wong bersama Miss Chen, semuanya harus siap pada pukul 12 siang, untuk para tamu yg kebanyakan pegawai kantoran yang makan siang antara jam 12 s/d 14 di berbagai restoran di Central, termasuk Restoran Jakarta.
Antara jam 12 s/d 14, adalah jam2 tersibuk dan penuh ketegangan dalam dapur, karena Miss Chen menuntut keras, kerja harus cepat dan tepat. Menyendok nasi atau sayur tidak boleh kebanyakan atau kedikitan dan harus serba cepat, agar para tamu jangan menunggu terlalu lama.
Setelah jam 14, tamu2 sepi kembali, karena umumnya sudah masuk kantor bekerja kembali, barulah pegawai restoran bergantian makan siang. Saya dan A Wong yg bertugas gantian untuk makanan para pegawai, semuanya Chinese Food, yg pernah saya pelajari di Tiongkok pada 66-77 itu. Setelah istirahat sebentar, kembali sibuk menyiapkan bahan2 untuk A Wong dan Miss Chen memasak makanan tahan lama, seperti rendang Padang, kari sapi dan ayam, semur sapi, ayam goreng, sambel goreng ati, goreng kerupuk, emping, bawang merah, bikin sambel terasi, sambel lumpiah, sambel soto dlsb pekerjaan tetek bengek dapur Indonesia.
Makan malam juga di dapur, kebanyakan saya yg menyiapkan, karena A Wong tugas utamanya adalah masak untuk para tamu.
Sore hari dan malam, jarang ada tamu yg datang makan. Karena daerah Central adalah daerah perkantoran, setelah jam 6 sudah sepi sekali. Jam 8 malam, kami sudah ramai2 membersihkan dapur, toilet... Jam 9 malam selesailah pekerjaan seharian, masing2 pulang ke rumah untuk istirahat. Saya pulang bersama Wie Hiong yg bekerja sebagai pelayan restoran, dimana saya menyewa kamarnya untuk tidur. Jam 10 malam sudah tiba di rumah, baca suratkabar sebentar, badan terasa letih, buru2 naik ranjang untuk tidur.
Setelah bekerja 8 hari ber-turut2, saya minta berhenti kepada Miss Chen, kenapa?
Pertama, saya merasakan pekerjaan ini terlalu meletihkan badan, pulang ke rumah sudah tidak bersemangat untuk belajar apa2 lagi, kemudian saya tidak bisa belajar bahasa Kantonese, karena yg bekerja di dapur 100% berasal dari Indonesia yg tidak menggunakan bahasa Kantonese samasekali.
Kedua, terjadi peristiwa yg menusuk perasaan saya. Kejadiannya begini: Pada hari ketujuh, saya diminta oleh A Wong untuk menggoreng bakmi. Saya kerjakan dengan baik, dan dapat pujian dari A Wong, kwalitet restoran ujarnya. Malam itu kebetulan ada yg memesan bakmi goreng, ketika saya sedang enak2 menggoreng, tiba2 Miss Chen muncul dan menghardik saya: "Kok kau yg menggoreng bakmi? Apakah mau membikin rusak nama Restoran Jakarta?" A Wong segera menjawab, bahwa dialah yg menyuruh saya. Tapi Miss Chen masih uring2an, ngomel panjang pendek.
Setelah pikir dalam2, keesokkan paginya saya ajukan permintaan berhenti kepada Miss Chen. Miss Chen minta maaf atas peristiwa semalam, minta agar saya jangan berhenti. Tapi saya tetap minta berhenti dgn alasan pekerjaan ini terlalu menyita waktu saya, tidak ada kesempatan untuk belajar bahasa Kantonese, karena seluruh pegawainya berbahasa Indonesia di dapur. Sayapun tak mau seumur hidup bekerja di restoran, tanpa mnguasai bahasa Kantonese, sulit untuk mencari pekerjaan lain yg lebih baik.
Setelah menerima upah 240 HK$, malam itu juga saya resmi berhenti dari Restoran Jakarta. Malam harinya membaca iklan di surat kabar, mencari pekerjaan yg lebih ideal, dan berdekatan dgn rumah kediaman, jadi tak usah buang2 waktu seperti sekarang ini.
8 bulan kemudian, saya jumpa lagi dgn Miss Chen di Central, dia mengajak saya untuk bekerja kembali di Restoran Jakarta. Saya katakan, sorry ya, kini saya sudah mendapat pekerjaan sebagai guide di travel biro dan mengajar piano, pekerjaan ini tidak cape dan waktunya pendek. Miss Chen menjadi ter-heran2, kenapa sang koki ini tiba2 jadi tourist guide dan guru piano.... Pada waktu2 senggang, saya suka mampir ke Restoran Jakarta, ngobrol dgn para pekerja dapur di situ, juga dengan Miss Chen dan suaminya.
(15 / 01 / 2004)